sedikit curhat mengenai fanfiction. sebenernya ini buka fanfiction pertama yang gue buat. tapi ini fanfiction gue yang (insyaAllah, akan) selesai dan doujin yang pertama kali di posting. gue agak ragu utk ngepos ff atau doujin ini. soalnya kepanjangan. tapi, setelah ngeliat banyak yang nge-post doujin diatas 8.000 kata, gue betah-betah aja bacanya (dan karena doujin mereka keren. ah, semoga gue bisa bikin cerita sekeren mereka).
fanfict ini bakal di posting secara bersambung. dikhawatirkan kesulitan untuk scrolling. seperti yang biasa dilakukan para ff maker (gue lupa bahasa Jepangnya apa), karakter di cerita ini adalah sepenuhnnya milik Masashi Kishimoto-sensei. cerita disusun oleh saya sebagai author. terinspirasi dari banyak cerita. untuk pertamakalinya dalam posting blog, gue mohon komentar, kritik, dan sarannya. Terimakasih :D
*Prolog*
“Wah, lihat. Pertunjukan kembang apinya
sudah mulai. Lihatlah, kembang apinya sangat indah. Aku sangat
menyukainya”, ucap gadis itu polos.
Saat itu usia kami masih lima tahun.
Saat itu pula pertemuan pertama kami, hari yang tidak akan pernah aku lupakan
karena hari itulah hari semua kisah ini dimulai. aku menemukannya sedang
menangis di keramaian festival kembang api yang diadakan saat musim panas tiba.
Tidak ada yang menyadari bahwa ada seorang anak kecil sedang menangis karena
ukuran badannya yang kecil, atau karena tidak terdengar suara tangisan darinya.
Aku yang akan memakan gulali yang baru saja kubeli tertahan karena anak
tersebut menarik perhatianku. Langsung saja kutarik tangannya untuk menepi. Dia
hanya menurut saat kutarik tangannya.
“Hei, kenapa kau menangis?”, tanyaku
penasaran dan aku masih ingat seberapa polosnya diriku saat itu.
“Aku tersesat. Aku terpisah dari
too-san dan kaa-san ku. Hiks…”, jawabnya sambil terisak. Air mata yang
berceceran serta ingus yang meluber dari hidungnya membuat ekspresi gadis itu
semakin menggemaskan. Saat itu aku berkhayal ‘andai aku mempunyai adik seperti
dia, mungkin setiap hari pipinya akan memerah karena korban cubitanku’.
“Ini untukmu. Jangan menangis lagi
ya. Kita akan bersama-sama mencari kaa-san dan too-san mu”, ajakku sambil
memberikan gulali yang belum sempat kumakan. Padahal saat
itu, aku juga sedang terpisah dari orang tuaku. Awalnya dia ragu-ragu untuk mengambilnya. Akupun meyakinkannya dengan
cengiran khas ku.
“Terimakasih”, jawabnya tersedu-sedu
sambil menyeka air matanya dan berusaha untuk tidak menangis.
Kami pun bersama-sama mencari orang
gadis itu. Tanpa terasa, pertunjukkan kembang api sudah dimulai. Karena belum
menemukan orang tua nya, aku mengajaknya untuk beristirahat di pinggir danau
sambil menikmati pertunjukkan kembang api tersebut.
“Dari tadi kita belum kenalan ya.
Kenalkan, namaku Uzumaki Naruto. Panggil saja Naruto”, aku mulai memperkenalkan
diri.
“Aku, Hyuuga Hinata. Kau bisa
memanggilku Hinata”, jawabnya dengan suara yang pelan. “Wah, kembang apinya
bagus ya”, lanjutnya saat melihat kembang api bermekaran di langit. Ekspresi
sedihnya tadi seketika berubah menjadi senang bahkan untuk sesaat, dia
melupakan kalau dirinya sedang tersesat ketika melihat kembang api itu.
Sejak saat itu, Hinata menjadi
maniak kembang api. Bahkan ia memaksa orang tuanya untuk memberikan nama
‘Hanabi’ pada adiknnya yang baru lahir. Pertemuan pertama itu juga yang membuat
kami selalu satu sekolah hingga jenjang SMA. Dan pertemuan itulah yang tanpa
sengaja membuat kami menjadi sahabat hingga saat ini.
“Aku menyukai kembang api. Walaupun sesaat, namun kembang api tersebut
mampu menerangi pekatnya malam dengan warna-warni yang menghiasi langit.
Membuat hati setiap orang yang melihatnya merasa damai”, ucap Hinata kepadaku
saat masih duduk di bangku SMP.
Setiap tahun, kami tidak pernah
melewatkan festival kembang api ini. Kami selalu berdua saat SD. Hingga ada
gossip yang mengatakan bahwa kami pacaran. Padahal saat itu saja aku tidak tahu
apa yang dinamakan pacaran tersebut. Bahkan hingga bangku SMP saat itu, kami selalu
belajar bersama. Hinata selalu menjadi bintang sekolah baik saat SD maupun SMP.
Aku bisa masuk ke SMP ternama di kota tersebut karena aku selalu belajar
bersama dengannya. Hinata mempunyai satu kelemahan yaitu ia cepat menyerah atas
apa yang ia coba. Dan salah satu tugasku
adalah untuk membangkitkan semangatnya tersebut karena jika tidak, ia tidak
akan menyelesaikan tugas-tugasnya tersebut dan bisa-bisa tidak ada yang
mengajari aku untuk menyelesaikan tugasku sendiri.
Semaki hari, perasaaku pada Hinata
semakin berkembang. Aku menganggap Hinata bukan hanya sekedar sahabat. Sikapnya
yang pemalu serta kekanak-kanakan, perhatiannya yang selalu tercurahkan pada
semua orang, kepandaiannya, membuat Hinata semakin terlihat begitu sempurna di
hadapanku. Ingin rasa hati mengungkapkan perasaan ini padanya yang selama ini
terpendam. Namun, aku takut. Aku takut hal ini dapat merusak hubungan
persahabatanku dengannya. Lagi pula, aku merasa tidak pantas untuk disandingkan
dengan marga Hyuuga yang satu ini. Bagiku, dia terlalu sempurna. Baik dalam
segi akademis maupun non akademis serta atitut yang dia tunjukkan pada semua
orang. Berbeda denganku yang bahkan tidak pernah masuk 20 besar di kelas. Lebih
baik aku menyimpan perasaan ini saja.
“Aku menyukai kembang api. Keindahan warnanya ditengah pekatnya malam
mewarnai setiap hati yang sunyi. Membangkitkan kenangan masa lalumu.
Keinginanku sekarang adalah ada seseorang yang menyatakan perasaan cintanya
padaku dengan kilauan hanabi sebagai saksinya”, ucap gadis berambut indigo itu.
Saat ia mengatakannya, kami sudah duduk
di bangku kelas satu SMA.
Dengan selesainya kalimat yang
diucapkan Hinata, berakhir pulalah pertunjukkan kembang api itu. Aku terlambat
mendapatkan momen yang hanya ada satu tahun sekali itu. Dari pada menyesali
diri sendiri karena membatalkan niat untuk menembaknya, akupun memancing
pembicaraan.
“Seorang bintang sekolah Konoha
tidak pernah pacaran? Kurasa bukan tidak ada anak lelaki yang menyukaimu, kalu
itu jangan ditanya. Mungkin seisi Konoha High School sedang mengantri
menembakmu. Namun karena sifatmu yang introvert serta hanya bergaul dengan buku
atau aku saja”, ucapku santai. Ia hanya menanggapinya dengan dengusan pelan.
Aku tahu, Hinata memang kesulitan dalam menjalin pergaulan dengan teman-teman
di sekolah. Ia hannya merasa nyaman hanya dengan orang terdekatnya saja. Hei,
sebentar. Apakah ini sebuah kode?
“Aku lihat seorang anak laki-laki
dari kelas dua memberimu sebuah bungkusan. Apa dia menembakmu, Hinata?”,
tanyaku tanpa berpikir apa akibatnya terlebih dahulu.
“Iya”, jawabnya datar “dan aku
menolaknya. Jika dilihat sekilas, ia setipe denganmu”, lanjutnya. Syukurlah,
aku senang ia tidak menerimanya. Tapi, hei, apa Hinata menolaknya karena anak
itu setipe denganku? Seketika ekspektasi tentang perasaannya kepadaku hacur.
“Lalu bagaiman dengan tipe cowok
idealmu? Sepertinya kau tidak pernah cerita pernah menyukai seseorang”, aku
ingin tahu lebih dalam tentang itu. Sebersit pikiranku mengatakan bahwa
jangan-jangan dia adalah ‘yuri’.
“Jangan berpikir kalau aku tidak
normal ya, Naruto!”, ia menjawab seperti mengetahui tentang apa yang aku
pikirkan barusan. “hufft, tipe cowok, tidak ada yang spesifik. Aku juga bingung
jika ada yang bertanya tentang itu”, jawabnya polos. Bahkan ke sahabatnya sendiripun,
ia masih tertutup jika ditanya tentang masalah hati.
to be continued...